Rabu, 18 Maret 2009

PEMANFAATAN SUMBERDAYA MANGROOVE

PEMANFAATAN SUMBERDAYA MANGROOVE

MELALUI SILVO-FISHERYA

I. PENDAHULUAN

Silvo-fishery adalah salah satu bentuk pemanfaatan jamak mangrove dengan kombinasi komoditas perikanan. Teknologi silvo-fishery belum banyak berkembang antara lain karena budidaya pola ini memerlukan prasarat teknis khusus yang belum banyak diketahui. Akibatnya usaha kearah itu belum memberikan hasil yang diharapkan dan hal ini tidak memberikan semangat bagi petani untuk melakukan kegiatan silvo-fishery. Dengan dukungan hasil penelitian budidaya, maka silvo-fishery memberikan nilai tambah yang cukup signifikan bagi petani dan dewasa ini mulai berkembang. Pemanfaatan jamak hutan manggrove juga sering dikaitkan dengan eco-tourism.

Keberhasilan penghijauan kembali hutan bakau akibat kerusakan dan konversi bagi peruntukan lain, telah dirasakan dengan baik di banyak lokasi di Indonesia. Salah satu contoh adalah penanaman mangrove kembali di Sulawesi Selatan dan salah satu diantaranya mendapatkan penghargaan kalpataru dari Presiden Republik Indonesia. Penghijauan ini juga dilakukan di daerah lain seperti Sumatera, Jawa, Bali pada daerah yang telah mengalami kerusakan berat. Keberhasilan ini juga didukung oleh petani/masyarakat pesisir yang telah menyadari dampak negatif konversi mangrove bagi peruntukan lain yang tidak rasional. Salah satu contoh kongkrit adalah kasus yang terjadi di pantai timur Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Wajo. Di daerah ini, mangrove secara total telah dikonversi menjadi tambak, sehingga pematang tambak berbatasan langsung dengan laut. Tidak disadari awalnya, ternyata pada musim angin gelombang dan angin keras selalu merusak pematang tambak lapis pertama sehingga setiap tahun petani tambak harus memperbaiki pematangnya dengan biaya tinggi serta mengalami kegagalan panen akibat kerusakan ini dengan sangat merugikan petani tambak.

Dalam keadaan seperti ini, petani tambak benar-banar memerlukan bantuan untuk mampu menghijaukan kembali hutan mangrove sebagi penahan gelombang. Proyek CIDA dari Kanada telah menangani masalah ini, namun tidak semudah yang diharapkan. Sebelum tanaman bakau tumbuh kuat telah dilanda gelombang kembali pada tahun berikutnya. Akhirnya petani mengijinkan untuk melakukan penanaman didalam tambaknya. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian petani, karena tambak yang semula bisa berproduksi harus ditanami bakau. Cara lain yang semula ingin ditempuh adalah membuat tanggul pemecah gelombang di laut untuk menahan kerusakan tanaman bakau yang baru ditanam namun biayanya sangat mahal. Penanaman bakau dalam tambak juga dilakukan di Kabupaten Luwu.

Keberhasilan penghijauan yang telah dirasakan oleh pemerintah daerah belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat sekitarnya. Banyak petani yang mempertanyakan hasil yang bisa diperoleh secara instan atau cepat dan berlanjut dari keberhasilan penghijauan kembali yang berupa cash untuk kebutuhan shari-hari. Kalu tidak, masyarakat akan kembali memanfaatkan mangrove untuk kehidupannya, misalnya menebang tanpa batas, konversi untuk peruntukan lain yang memberikan nilai tambah lebih baik dan instan atau cepat menghasilkan uang. Oleh karena itu disamping melakukan penghijauan kembali perlu diupayakan altrenatif pemanfaatan jamak hutan bakau yang bisa memberikan nilai tambah bagi masyarakat sekitar. Salah satu usaha tersebut adalah silvo-fishery. Paper ini membahas secara spesifik keterkaitan hutan mangrove dengan usaha perikanan pesisir.

A. Komoditas Budidaya

Ada beberapa kelompok komoditas perikanan pesisir yang berpeluang untuk dibudidayakan dengan sistem silvo-fishery: (1) Finfish (ikan bersirip) seperti kakap (kakap merah, kakap putih), Kerapu (seperti kerapu macan, batik, lumpur), bandeng, beronang dll; (2) Krustasea, seperti udang (udang windu dan udang putih), kepiting (kepiting bakau, rajungan) dll; (3) kekerangan (kerang kepah/joi, kerang bakau, kerang hijau, kerang mutiara dll), oyster; (4) dan berbagai komoditas lain non-ikan yang juga memiliki nilai ekonomis penting.

Hingga saat ini baru diketahui beberapa komoditas yang peluang dan kelaikan untuk dibudidayakan secara silvo-fishery. Misalnya bandeng, kepiting, mujahir, kekerangan dan udang. Komoditas lain masih dalam proses penelitian. Pemilihan komoditas budidaya untuk silvo-fishery perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Sesuai dengan habibat lahan mangrove sehingga mudah beradaptasi; (2) Memiliki nilai ekonomis penting baik untuk pasar lokal, ekspor sehingga mampu memberikan nilai tambah yang nata bagi petani; (3) Komoditas strategis untuk pemenuhan protein ikani masyarakat; (4) Memiliki gerakan lincah atau pelindung sehingga tidak mudah dimangsa predator yang ada disekitar mangrove seperti ular, burung, biawak dll; (5) Cepat tumbuh dan relatif tahan terhadap kondisi kurang baik.

Komoditas budidaya untuk silvo-fishery yang telah dirintis adalah kepiting bakau, udang, bandeng, kekerangan baik dilakukan secara monokultur maupun polikultur. Budidaya secara polikultur memberikan keuntungan alternatif bila komoditas yang satu kurang berhasil, diharapkan komoditas yang lain mampu berproduksi secara baik. Lebih disarankan untuk pola budidaya secara integrasi dengan komoditas dan atau komponen bisnis lain seperti ecotourism dan pemancingan dan estuary yang berbeda.

Untuk menyiapkan wadah budidaya dan lingkungan budidaya yang baik, perlu diketahui prasyarat biologis dari komoditas yang akan dibudidayakan. Semakin baik dalam menyiapkan wadah budidaya dan lingkungan budidaya untuk komoditas tersebut semakin besar probabilitas sukses dalam usaha silvo-fishery.

Prasyarat biologi umum

Deskripsi

Keterangan

Kondisi tanah

Tanah mineral atau tanah mineral bergambut; bukan tanah sulfat masam dengan potensi pirit tinggi; kemasaman sekitar 6 hingga netral; lapisan gambut dangkal <30cm>

Kondisi air

Pasang surut cukup tinggi >0.75, kondisi lahan tergenang pada saat pasang; mutu air laut baik, tidak tercemar oleh cemaran organik maupun inorganik; kemasaman air sekitar netral hingga 8.5, kecerahan tinggi, salinitas didominasi air laut sekitar 28-35ppt. Bebas cemaran (internal atau eksternal) / limbah industri atau pemukiman

B. Kelayakan Lahan Mangrove

Kelayakan lahan mangrove untuk usaha silvo-fishery ditentukan oleh beberapa pertimbangan: (1) Jenis pohon, dimana memberikan indikasi juga terhadap kondisi tanah misalnya ada pohon yang hidup pada tanah berlumpur, berpasir dan bahkan cenderung berbatu karang. Hal ini terkait dengan tingkat kemudahan konstruksi wadah dan tingkat kesuburan tanah; (2) Kerapatan pohon, yang terkait dengan ruang gerak dan tingkat kemudahan komoditas bergerak, teknik pemanenan dan kemudahan saat konstruksi; (3) Umur pohon, berkaitan erat dengan tingkat lapisan serasah yang dihasilkan, terbentuknya tanah gambut dan ketebalan bahan organik; (4) Kondisi tanah, apakah tanah mineral atau organik yang berpotensi pirit atau non-pirit.

Dengan kondisi mangrove yang berbeda, maka pemanfaatan harus disesuaikan dengan kelayakan dengan beberapa alternatif : (1) Murni untuk jalur hijau sepanjang pantai atau sempadan sungai; (2) konservasi dan restoking komoditas tertentu untuk keberlajutan produksi tangakap; (3) kegitan silvo-fishery; (4) Eco-tourism (pemancingan dan restoran); (5) Integrasi yang saling menguntungkan.

Beberapa kasus kegagalan antara lain disebabkan tanah gambut yang cukup tebal sehingga sulit melakukan konstruksi pematang/penyusutan hebat; kebocoran, terjadinya pembusukan kuat dari tanah gambut yang bisa mematikan ikan atau menghambat pertumbuhan; Kasus lain pada lahan gambut dengan dasar subtrat pasir dan karang ternyata sulit membuat kurung tancap sehingga kepiting atau ikan yang ditebar banyak lolos akhirnya gagal panen. Hal ini juga terjadi pada lahan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi, dimana konstruksi wadah yang baik sulit dilakukan; Kasus lain adalah adanya tanin yang cukup tinggi sehingga mematikan ikan atau komoditas yang dibudidayakan dan atau menghambat pertumbuhan. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang tidak mematikan udang, namun sudah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan udang atau ikan. Kandungan tanin dalam air budidaya dicirikan oleh adanya lapisan air berminyak, warna dari kekuningan hingga kebiruan. Semakin tinggi kandungan tanin akan semakin biru warnanya.

Idealnya untuk usaha silvo-fishery, rancangan harus sudah dimulai sejak awal penghijauan sehingga pembuatan kurung tancap, petak budidaya akan lebih mudah; penanaman diatur sedemikian rupa sebagai plot-plot mangrove dengan luasan tertentu sehinga tidak perlu memotong perakaran atau menebang bakau untuk persiapan wadah budidaya tersebut yang sering berdampak negatif terhadap mutu air terutama meningkatnya kandungan tanin.

II. MODEL SILVO-FISHERY

Beberapa model silvo-fishery yang merupakan pemanfaatan jamak lahan mangrove: (1) Kepiting-mangrove dengan system kurung tancap di jalur hijau; (2) Mangrove-bandeng dengan system kurung tancap-caren-mangrove; (3) Bandeng-mangrove dengan system pematang-caren-mangrove; (4) Polikultur bandeng-kepiting-mangrove dengan sistem no (2) atau (3); (5) Polikultur bandeng-kerang-bakau-kepiting-mangrove dengan sistem kombinasi (2) atau (3); Polikultur bandeng-udang-mangrove dengan sistim (3); Pada lokasi yang memiliki panorama indah bisa dikombinasikan dengan objek wisata ”eco-tourism ”, dengan jembatan jalan setapak, restoran/cafe untuk menikmati komoditas perikanan yang ada; (6) pemanfaatan lahan mangrove bergambut untuk konservasi kepah.

Ketepatan penentuan model silvo-fishery akan ditentukan oleh kondisi lahan mangrove (LQ-Land Quality) dan prasyarat biologis komoditas yang akan dibudidayakan (LR-Land Ruqirement). Matching antara LQ dan LR, akan menentukan tingkat kelayakan lahan budidaya dengan klasifikasi kelayakan lahan rendah, sedang dan tinggi bagi peruntukan silvo-fishery. Untuk lahan mangrove dengan kelayakan rendah sebaiknya tidak dilakukan usaha silvo-fishery, tetapi bagi peruntukan lain, misalnya konservasi komoditas perikanan tertentu.

Lahan mangrove bisa dimanfaatkan secara jamak untuk budidaya secara semi alami komoditas kekerangan seperti kerang bakau, dan untuk lahan konservasi kepiting bakau. Cara ini perlu ada dukungan pemeritah setempat, dinas terkait dan masyarakat dalam pengamanan dan pemanfaatan yang diatur berdasarkan prasyarat teknis hasil penelitian; misalnya musim penangkapan tidak boleh dilakukan pada saat terjadi pemijahan, ukuran yang ditangkap sesuai permintaan pasar dan tidak ditangkap ukuran induk yang siap memijah. Cara ini lebih murah, namun keberhasilannya sangat ditentukan oleh kemampuan sosialisasi ditingkat masyarakat terhadap ketaatan peraturan dan kesepakatan yang dibuat oleh semua pihak yang terlibat didalamnya. Tanpa komitmen yang jelas dan kedisiplinan dalam pengelolaan ini, sulit dicapai hasil yang maksimal.

III. BUDIDAYA TAMBAK DI LAHAN MANGROVE

Besaran lahan mangrove yang diperbolehkan untuk dikonversi menjadi tambak menjadi salah satu pertanyaan yang umum. Ada yang menyarankan tidak lebih dari 10% total lahan mangrove boleh dikonversi, namun DTK ( disain, tata letak, konstruksi ) harus mengikuti ketentuan teknis. Ada yang memberikan batasan lebih spesifik yaitu besaran lahan mangrove setelah dikurangi jalur hijau sepanjang pantai dan sempadan sungai baru diperhitungkan 10% konversi untuk tambak. Namun demikian dari hasil kajian tidak semua lahan mangrove bisa dikonversi untuk tambak. Bahkan dibanyak lokasi dinyatakan tidak layak untuk dijadikan tambak. Biasanya pengusaha tambak awalnya dipropokasi oleh pengusaha kayu gelondongan bakau yang cukup padat dan berdimeter besar untuk keperluan industri lain sebagai bahan ekspor. Salah satu contoh yang terjadi di Delta Tampina Sulawesi Selatan, dan sebagian daerah di Sorong maupun Maluku.

Di Delta Tampina seorang pengusaha telah memanfaatkan kayu bakau yang besar untuk tujuan lain, maka melihat tanaman yang tersisa tinggal yang kecil, kemudian dilanjutkan dengan melakukan pembersihan pemangkasan dan membakar tanaman yang mati. Setelah itu dilakukan konstruksi tambak. Ketidaktahuan mereka akan adanya tanah gambut yang cukup tebal (>3-4 meter) menyebabkan pembutan pematang sangat sulit, berat dan mahal karena tidak terdapat tanah liat yang cukup. Setelah pematang jadi sesuai dengan ketinggian kontrak bangunan, ternyata dalam beberapa minggu setelah tanah gambut mengalami pengeringan yang cukup akan terjadi penyusutan sehingga tinggi pintu air tidak sesuai dengan ketinggian pematang. Kesulitan berikutnya adalah perbaikan dasar tambak yang selalu menghasilkan mutu air yang jelek akibat pembusukan bahan organik yang sangat tinggi. Akibatnya ikan atau udang stress dan tidak tumbuh, karena nafsu makan berkurang, vitalitas rendah dan mudah diserang penyakit. Akibat lanjut sering gagal panen. Ditambak ini setelah invest lebih dari 2 milyar untuk 5 petak tambak hingga tiga tahun pertama belum bisa berproduksi seperti yang diharapkan.

Budidaya tambak dilahan mangrove bisa didesain sebelum penanaman bakau atau dengan membuka sebagai kecil lahan mangrove menjadi tambak. Tambak semacam ini bisa dipergunakan untuk berbagai macam budidaya komoditas tersebut diatas selama kondisi pasang surut dan mutu air memenuhi persyratan biologis komoditas yang akan dibudidayakan.

A. Dukungan Penelitian

1. Keberhasilan teknologi budidaya bandeng secara utuh meliputi perbenihan hingga pembesaran, teknologi pengglondongan, teknologi budi daya bandeng umpan secara tradisional maupun intensif, teknologi budidaya pembesaran di tambak maupun KJA laut. Keberhasilan perbenihan bandeng disusul dengsn keberhasilan perbenihan ikan lainnya seperti kerapu (5 jenis), kakap (3 jenis) dan ikan kuwe.

2. Teknologi perbenihan kepiting bakau, rajungan;teknologi pembesaran di tambak ataupun dilahan mangrove, atau restoking.

3. Teknologi perbenihan udang ( udang windu, udang putih dan vanamai), pengglondongan di hapa dan pembesaran di tambak.

4. Model konservasi kepiting bakau di lahan mangrove untuk keberlanjutan produksi tangkap.

5. Teknologi penggemukan dan pembesaran kepiting bakau.

6. Teknologi perbenihan dan pembesaran ikan kakap dan kerapu.

7. Budidaya kerang bakau secara semi alami di lahan mangrove.

B. Analisis Manfaat

Manfaat keberadaan hutan mangrove tidak diragukan lagi dan telah banyak dibuktikan dari berbagai sudut pandang sehingga kita sepakat untuk melestarikannya. Penelitian – penelitian melalui pendekatan valuasi ekonomi juga banyak dilakukan.

Pada bagian ini ditampilkan komponen yang memerlukan biaya sebagai biaya tetap, biaya investasi maupun biaya operasional untuk masing-masing kegiatan yang direncanakan. Berdasar komponen biaya tersebut dapat dengan mudah dilakukan analisis finansial untuk mendapatkan gambaran keuntungan yang diperoleh. Harga bahan dasar dan produk relatif bervariasi dari daerah yang satu dengan lainnya sehingga hasil analisis finansial bisa berbeda-beda.

1. Budidaya kepiting-mangrove

Kepiting bakau jenis Scylla paramamosain merupakan jenis kepiting yang terpilih untuk ekspor karena memiliki beberapa keunggulan antara lain lebih tahan hidup sehingga kematian saat transportasi kecil, memiliki warna cerah dan menarik, termasuk jenis ekspor yang digemari.

Wadah budidaya, budidaya pembesaran kepiting bakau bisa dilakukan pada 2 wadah berbeda: (1) di tambak dengan cara tebar langsung atau dalam kurung tancap. Bila tebar langsung, maka sepanjang pematang bisa dilapisi plastik supaya kepiting tidak mudah keluar atau dengan sistim pagar bambu pendek sepanjang pematang; Wadah bisa dibuat dengan bahan bambu atau kayu tergantung ketersediaannya di lokasi budidaya; (2) kurung tancap bila dilakukan dilahan mangrove perlu dilakukan secara cermat sehingga tidak terdapat bagian yang kurang pas dan kepiting akan lari keluar. Harga bahan dasar wadah dan kurung tancap bervariasi tergantung lokasi dan jenis bahan yang dipergunakan; (3) wadah budidaya sistim baterei, dimana wadah berukuran sekitar 15x15x15 cm secara seri masing-masing diisi satu ekor kepiting. Wadah budidaya ini cocok untuk budidaya penggemukan, produksi kepiting betina bertelor yang telah mencapai ukuran konsumsi dan produksi kepiting soft shell yang memerelukan waktu pemeliharaan singkat sekitar 2-3 minggu.

Padat penebaran bisa diperoleh dari hatcheri maupun benih alam. Benih hatcheri biasanya dilepas setelah crablets yang ukurannya relatif masih kecil, sehingga perlu penanganan khusus dalam transportasi dan penebaran awal di tambak. Di daerah tertentu masih dipergunakan benih dari alam yang relatif memiliki ukuran lebih besar. Kepadatan tebar untuk pembesaran sekitar 1-2 ekor per 5 m2 dengan waktu pemeliharaan sekitar 5-8 bulan tegantung ukuran tebar awal. Untuk penggemukan bisa lebih padat 2-3 ekor/m2 karena waktu pemeliharaan relatif singkat hanya 2-3 minggu saja. Bila penggemukan dilakukan secara monosek, maka mortalitas yang terjadi akan lebh rendah. Untuk sistem baterai, permeter bisa mencapai 20-30 ekor, biasanya proses penggemukan atau produksi softsheel.

Pakan ikan rucah, bisa diberikan untuk pembesaran kepiting bakau. Pakan berupa kerang akan lebih baik karena tidak cepat membusuk dan juga dipercaya akan memberikan warna telur yang lebh merah dan disukai pembeli khususnya pembeli dari China. Pakan ikan rucah biasanya dicari ikan yang murah harganya, tetapi kesulitannya tidak bisa disimpan lama dalam keadaan mati. Bila pakan ikan ruacah yang telah rusak atau membusuk diberikan sebagai pakan, bisa memperburuk mutu lingkungan dan kepiting akan mudah mati akibat adanya gas asam sulfida dan amoniak yang merupakan hasil pembusukan dari protein ikan. Pakan berupa kerang dapat dengan mudah disimpan dalam keadaan hidup dan hanya dimatikan pada saat akan diberikan. Harga pakan ikan rucah sekitar Rp.1000 hingga Rp.4000/kg tergantung musim dan lokasi. Dalam beberapa hal, ikan rucah dapat diperoleh disekitar lokasi dengan cara penangkapan sendiri, demikian pula kerang bakau bisa diambil secara langsung dari daerah lahan mangrove.

Tenaga, yang bertugas memberi pakan setiap hari dan pengamatan wadah apabila ada yang rusak atau bocor harus segera diperbaiki karena kepiting akan lari keluar. Saat panen bisa ditambah tenaga harian sehingga panen bisa dilakukan secara serentak dan cepat.

Panen, cara panen budidaya kepiting di tambak lebih mudah daripada budidaya kepiting di lahan mangrove dengan sistem kurung tancap. Sebaiknya pemberian pakan dilatih pada tempat yang sama dalam kondisi pasang. Kebiasaan ini akan melatih kepiting datang saat diberi pakan. Bila dilakukan puasa sehari setelah terlatih, maka pemberian paka bisa dilakukan untuk menangkap kepiting pada saat panen. Kepiting ukuran pasar sekitar 3-4 ekor/kg.

Kepiting bakau memiliki berbagai keunggulan komparatif untuk dikembangkan, selain sesuai dengan habitat mangrove, juga nilai jual baik dalam kondisi segar, olahan berupa daging atau limbahnya menjadi chitosan, semua laku dijual. Disamping itu, kepiting bakau kecil sekitar 50-100 gram bisa dijual dalam bentuk softshell.

2. Budidaya Bandeng-Mangrove

Wadah budidaya, kurung tancap - caren-mangrove; Pematang-caren-mangrove; atau tambak di lahan mangrove.

Benih, untuk produksi bandeng umpan bisa ditebar ukuran nener atau glondongan; glondongan bandeng bisa dilakukan di dalam hapa atau langsung di tambak pada petak pengglondongan hingga ukuran kurang lebih 5-7 cm, kemudian dilepas ke petak pembesaran.

Pakan bandeng, berupa pakan komersial yang telah banyak diperdagangkan dengan harga sekitar Rp. 2.500 hingga Rp. 3.000 per kg. Pemberian pakan untuk budidaya bandeng intensif dilakukan secara satiasi yaitu hingga kenyang. Ikan diberi pakan secara bertahap, sedikit demi sedikit hingga kenyang. Biasanya pada awal pemberian pakan ikan berkerumun dan berebut cukup padat, akhirnya secara bertahap pula ikan yang sudah kenyang menghindar dan lama-lama menyebar dan pemberian pakan diberhentikan setelah tidak ada respon kembali. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari pagi dan sore hari atau satu kali bila pakan alami dilokasi cukup.

Tenaga, diperlukan untuk keamanan dan perbaikan wadah bila ada yang harus diperbaiki mencegah kebocoran atau kerusakan pematang atau pagar. Khusus untuk budidaya bandeng umpan secara intensif, diperlukan tenaga untuk pemberian pakan, biasanya per petak 2500 m2 ditangani oleh satu tenaga, biasanya anak putus sekolah.

Panen, ukuran glondongan sekitar 5-7 cm, panen ukuran bandeng umpan sekitar 12 cm dan panen ukuran konsumsi sekitar 2-3 ekor/kg. Bandeng ukuran konsumsi bisa dipasarkan dalam bentuk segar, olahan (presto, asap, bandeng tanpa duri dll). Khusus untuk budidaya bandeng secara umpan intensif, kepadatan tebar mencapai 500.000 per hektar dan perlu dilakukan grading ukuran pada saat panen selektif.

3. Budidaya kerang bakau-mangrove

Wadah budidaya, kurung tancap atau bisa tanpa wadah dengan mengalokasikan lahan budidaya sebagai lahan konversi untuk budidaya kerang bakau secara alami. Kerang bakau ini juga disebut kerang kepah atau joi.

Benih kerang bakau, tidak perlu dibenihkan tetapi pada kondisi lahan yang tepat akan mudah bereproduksi sendiri. Disatu lokasi yang layak benih dan induk selalu tumbuh dan berkembang dengan baik hingga kepadatan per meter persegi mencapai puluhan bahkan ratusan individu kerang bakau. Salah satu hasil sampling di suatu lahan mangrove bergambut diperoleh sekitar satu ember 50 liter penuh per meter persegi.

Panen, dilakukan secara seleksi, ukuran pasar yang baik sekitar diameter cangkang 5 cm, ukuran besar sebagai induk dibiarkan berkembang dan yang kecil atau benih dibiarkan hingga mencapai ukuran pasar yang tepat dengan harga yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan mutu hasil panen yang baik, setelah panen jangan langsung dijual atau dikonsumsi, tetapi perlu dilakukan depurasi, yaitu ditahan dalam wadah yang dialiri air besih selama 24 jam.

4. Polikultur Kepiting-Bandeng-Kerang Bakau-Mangrove

Wadah budidaya, pematang-caren-mangrove atau kurung tancap-caren-mangrove. Kerang bakau dipelihara pada lahan mangrove yang telah terbentuk lapisan gambut atau bahan organik; sedangkan bandeng dilepas pada bagian caren dan kepiting bisa dilepas di semua tempat baik di caren, maupun di lahan mangrove.

Pakan, pemberian pakan kepiting dilakukan pada saat pasang, sedangkan bandeng kepadatan tebar rendah (1-2 ekor per dua meter persegi) tidak perlu diberi pakan tambahan melainkan pakan alami dengan memberikan pupuk untuk pertumbuhannya. Kepiting juga punya kemampuan untuk membuka kerang bakau yang hidup dan mengambil dagingnya.

Panen, dilakukan secara bertahap atau total dengan pengeringan pada saat surut rendah; untuk kepiting bakau bisa dipanen pda saat pasang dengan menggunakan rakang. Kerang bakau dapat dipanen untuk ukuran yang tepat dan dilakukan panen seleksi. Kerang bakau bisa dipanen dengan mudah dengan mengambil langsung pada permukaan tanah pada saat surut. Biasanya kerang bakau agak sedikit terendam lumpur dan mudah diketahui keberadaannya dengan cara menggaruk menggunakan penggaruk besi kecil. Panen bandeng dengan menggunakan jaring dan bandeng akan berkumpul di caren pada saat kering atau melawan arus pada saat air pasang masuk.

5. Integrated use, disamping silvo-fishery bisa dikombinasikan dengan eco-tourism bila panorama disekitarnya indah, penataan mangrove, pembuatan jalan setapak, tempat istirahat, cafe/restoran. Disamping itu sangat baik untuk studi, pelatihan, transaksi bisnis, kerjasama dan lain-lain sembari menikmati hidangan komoditas yang dibudidayakan. Tempat pemancingan di laguna-mangrove.

6. Pengeloaan sumberdaya komoditas ???, kepiting di lahan mangrove.

IV. PENUTUP

  1. Tidak semua lahan mengrove layak untuk dikonversi menjadi tambak atau untuk budidaya perikanan secara silvo-fishery.
  2. Pemilihan lokasi untuk silvo-fishery harus mengacu kepada lahan (LQ) dan prasyarat komoditas yang akan dibudidayakan (LR).
  3. Lahan mangrove bisa dimanfaatkan untuk budidaya semi komoditas yang memilki habitat mangrove; Komoditas lain seperti udang, bandeng dan kakap memerlukan genangan air yang dengan melakukan konversi sebagian lahan mangrove menjadi caren atau tambak.
  4. Lahan mangrove yang telah berusia tahunan dan membentuk tanah gambut tidak layak untuk tambak.
  5. Wadah budidaya berupa kurung tancap, hapa, sistim batere, caren atau tambak tergantung teknologi yang akan diterapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar